Scroll untuk membaca artikel
Dany Garjito | Ruth Meliana Dwi Indriani
Kamis, 29 Juli 2021 | 10:52 WIB
Kisah Pilu Masinis Kereta Api Tragedi Bintaro 1987. (YouTube/Kisah Tanah Jawa)

BeritaHits.id - Perjalanan hidup Slamet Suradio, masinis kereta api Tragedi Bintaro 1987 begitu pilu. Kecelakaan terkelam dalam sejarah perkeretaapian di Indonesia itu telah memporak-porandakan hidupnya.

Slamet mendapatkan hukuman 5 tahun penjara di Lapas Cipinang buntut Tragedi Bintaro. Ia diputuskan bersalah karena dianggap lalai sebagai masinis sehingga menjatuhkan banyak korban jiwa.

Untuk diketahui, Tragedi Bintaro merupakan kecelakaan antara dua kereta, KA 225 dan KA 220. Dua kereta itu bertubrukan di Desa Pondok Betung pada 19 Oktober 1987 pukul 06.45 WIB.

Tragedi ini telah menewaskan 156 orang dan melukai 300 orang. 72 penumpang tewas di tempat dan sisanya meninggal sekarat.

Baca Juga: Kisah Indra Rudiansyah, Anak Bangsa yang Ikut Mengembangkan Vaksin Covid-19 AstraZeneca

Dalam tragedi ini, Slamet dituduh memberangkatkan kereta api tanpa instruksi sehingga berakhir kecelakaan. Namun, hal itu dibantah olehnya.

"Jadi kalau ada orang mengatakan berangkat sendiri itu bohong, apa untungnya saya memberangkatkan kereta sendiri," ujar Slamet dikutip Hops.Id -- jaringan Suara.com, Kamis (29/7/2021).

Slamet menjelaskan ia memberangkatkan kereta api dengan tenang sesuai instruksi. Selama perjalanan, ia mengaku tidak menerima sinyal apapun sehingga tidak merasa khawatir.

Namun, ia sangat terkejut saat dari arah berlawanan ada KA 220 dari Kebayoran. Hal itu langsung membuat Slamet menarik rem bahaya. Sayang, hal itu gagal sehingga kereta tetap menabrak.

"Saya terus narik rem bahaya, ternyata gagal, tidak bisa berhenti, tetep terjadi tabrakan," kenangnya.

Baca Juga: Kisah Sunisa Lee, Pengungsi Laos yang Sukses Rengkuh Emas Olimpiade Tokyo untuk AS

Slamet menegaskan dirinya tidak loncat. Benturan itu membuatnya terpental ke luar dan kaca-kaca melukai wajahnya.

"Saya terpental di dalam lokomotif karena benturan kereta tersebut. Muka saya terkena remukan kaca dari kereta saya sendiri, karena kacanya hancur," ungkap Slamet.

Slamet pun dihukum 5 tahun penjara dan bebas pada 1993. Tahun 1994, ia dipecat dari jabatannya sebagai masinis. Nomor Induk Pegawai Perkeretaapiannya juga dicabut pada 1996 oleh Departemen Perhubungan Indonesia.

Tak sampai disitu, Slamet juga dipaksa untuk menandatangani surat pengakuan bahwa ia tetap menjalankan kereta tanpa intruksi dari PPKA. Saat menolak, ia mendapat ancaman dari pihak kepolisian.

Pemecatan itu membuat dirinya tidak mendapat uang pensiun. Alhasil, ia harus menyambung hidup dengan pulang kampung dan berjualan rokok di kampung halamannya, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah.

Kisah pilunya terus berlanjut. Sang istri, Kasni memutuskan meninggalkan dirinya saat proses persidangan berlanjut, lalu menikah dengan masinis lain.

Dua bulan Slamet di Lapas Cipinang, Kasni memang tidak pernah lupa membawa makanan untuk suaminya. Slamet sendiri tidak pernah meminta dibawakan apapun.

Ia hanya meminta agar istrinya membawakan sepatu untuk dipakai di persidangan. Sempat tidak bisa memenuhi permintaan Slamet, Kasini akhirnya membawakan sepatu yang diinginkan suaminya saat sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Kondisi Slamet yang dipenjara membuat Kasni mencari penghasilan tambahan. Ia mengaku hanya menerima separuh gaji sang suami. Jumlah itu tentunya tidak cukup untuk menghidupi 7 anaknya.

Akhirnya, Kasini memutuskan meninggalkan Slamet dan menikah dengan seorang masinis. Kendati demikian, Slamet mengaku sudah mengikhlaskannya.

Tragedi Bintaro 1987

Tragedi Bintaro 31 tahun lalu bagian dari sejarah kelam perkeretaapian di Indonesia. Pada 19 Oktober 1987 dua buah kereta api di daerah Pondok Betung, Bintaro, Jakarta Selatan tabrakan. Sebanyak 156 orang tewas.

Tragedi Bintaro menyita perhatian publik dunia. Seperti dilansir dari berbagai sumber, Tragedi Bintaro adalah peristiwa tabrakan kereta api Patas Ekonomi Merak jurusan Tanah Abang - Merak yang berangkat dari Stasiun Kebayoran dengan kereta api Lokal Rangkas jurusan Rangkasbitung - Jakarta Kota yang berangkat dari Stasiun Sudimara.

Hasil penyelidikan kepolisian saat itu menemukan adanya kelalaian petugas Stasiun Sudimara yang memberikan sinyal aman bagi kereta api dari arah Rangkasbitung. Di sisi lain tidak ada pernyataan aman dari Stasiun Kebayoran.

Kecelakaan Tragedi Bintaro itu terjadi di antara Stasiun Pondok Ranji dan Pemakaman Tanah Kusir, Sebelah Utara Sekolah Menengah Umum Negeri 86 Bintaro. Di dekat tikungan melengkung Tol Bintaro, tepatnya di lengkungan "S", berjarak kurang lebih 200 m setelah palang pintu Pondok Betung dan ± 8 km sebelum Stasiun Sudimara.

KA 220 berjalan dengan kecepatan 25 km/jam karena baru melewati perlintasan, sedangkan KA 225 berjalan dengan kecepatan 30 km/jam. Dua kereta api yang sama-sama sarat penumpang, Senin pagi itu bertabrakan di tikungan S ±km 18,75.

Kedua kereta hancur, terguling, dan ringsek. Kedua lokomotif dengan seri BB303 16 dan BB306 16 rusak berat. Jumlah korban jiwa 156 orang, dan ratusan penumpang lainnya luka-luka.

Load More