Scroll untuk membaca artikel
Chyntia Sami Bhayangkara | Ruth Meliana Dwi Indriani
Minggu, 05 Desember 2021 | 19:06 WIB
Surya Sahetapy (Instagram @suryasahetapy)

BeritaHits.id - Aktivis tuli, Surya Sahetapy mengkritik aksi Menteri Sosial (Mensos) Tri Rismaharini yang memaksa tunarungu bicara. Ia juga terheran-heran banyak orang yang masih membela sikap Risma tersebut.

Hal ini diungkapkan Surya melalui akun Instagram resminya, @suryasahetapy. Ia menggambarkan cara Risma menyuruh tunarunggu bicara, ibarat meminta orang Indonesia untuk lebih baik berbicara bahasa Belanda dan Jepang.

"Kenapa pada masih MEMBELA sikap bu Risma dan orang-orang yang berkata, 'Lebih baik kurangi bahasa isyarat' atau melarang seperti dokter," kritik Surya seperti dikutip Beritahits.id, Minggu (5/12/2021).

"Ini ibarat, orang Indonesia disuruh lebih baik ngomong bahasa Belanda-Jepang, kurangi Bahasa Indonesia," lanjutnya.

Baca Juga: Sejuta Asa Dini Defitri Sang Perajut Tali Kur Masa Depan Gemilang

Surya mengungkapkan dirinya pernah bersikap audism dan linguisicm terhadap teman-temannya yang tuli. Kala itu, ia disuruh oleh guru dan orang tua temannya untuk memotivasi agar teman-temannya bisa bicara.

Hal ini dilakukan dengan memaksa mereka berbicara tanpa bahasa isyarat. Surya mengenang kejadian itu dilakukannya saat masih duduk di bangku sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP). Akibatnya, ia menjadi tidak disukai oleh teman-temannya sendiri.

"Tahukah Anda? Saya pernah bersikap audism dan linguisicm malah tidak disukai teman-teman tuli sendiri. Saya disuruh oleh guru dan orang tua teman untuk memotivasi teman saya dengan memaksa ngomong, dan tidak boleh pakai bahasa isyarat saat saya masih SD-SMP," cerita Surya.

Surya mengatakan dirinya tidak tahu jika bahasa isyarat mengikuti tata bahasa Indonesia. Ia juga berpura-pura bicara di depan teman-temannya, meski kerap memakai bahasa isyarat di belakang mereka.

"Pertama, saat itu saya menganggap bahasa isyarat tidak mengikuti tata bahasa Indonesia (padahal saya pakai bahasa isyarat di rumah untuk berkomunikasi dengan kakak dan om juga tuli)," kata Surya.

Baca Juga: Beri Pembelaan, Hasto Minta Publik Lihat Rekam Jejak Risma Terhadap Kaum Disabilitas

"Saya sering menggunakan bahasa isyarat di rumah atau di tempat di mana tidak ada audists. Kadang kali saya berpura-pura sok bisa bicara ketika ada audist di keliling kita karena takut dimarahin," sambungnya.

Menurutnya, ia saat itu telah menjadi korban sistem pendidikan dan sosial yang tidak sehat bagi penyandang tunarungu. Pasalnya, ia dan teman-temannya tidak diajari cara berkomunikasi yang baik dengan kemampuan.

"Bukan karena saya sengaja, tetapi memang karena saya merupakan 'korban' sistem pendidikan dan sosial yang tidak sehat, di mana tidak diajari tentang menghargai keanekaragaman komunikasi yang ada di komunitas kami," jelas Surya.

"Mungkin teman-teman Tuli-HoH, bahkan sekelas saya tahu bahwa dari kecil guru dan orang tua memuji saya sampai kesel sama saya," lanjutnya.

Lebih lanjut, Surya menjelaskan mengenai kondisi pendengarannya saat itu. Ia mengakui pendengaran di sebelah kanan bisa maksimal jika menggunakan alat bantu dengar (ABD) sampai usia 15 tahun, sebelum akhirnya tidak bisa mendengar lagi.

Surya Sahetapy Cerita Dampak Pernah Bersikap Audism dan Linguicism. (Instagram/@suryasahetapy)

"Harus kalian tahu bahwa dari kecil saya sempat menjadi HoH, di mana pendengaran kanan bisa memaksimalkan ABD, bahkan bisa telfonan sama @dewiyullofficial sampai berumur 15 tahun dan akhirnya tidak bisa mendengar lagi. Sementara pendengaran kiri tuli total dan tinnitus," ujar Surya.

Ia lantas menjelaskan dampak pernah bersikap audism dan linguicism kepada teman-temannya. Hal ini membuat temannya menjadi trauma karena kerap dibandingkan. Bahkan, pertemanan mereka sampai rusak.

Beruntung, Surya mulai sadar mengenai pentingnya memahami kondisi sesamanya sesuai kebutuhan. Ia akhirnya memutuskan mengurangi berbicara dengan bahasa Indonesia dan mengadvokasi pentingnya bahasa isyarat di berbagai sekolah Tanah Air.

"Ada teman saya trauma karena sikap orang tua membandingkan saya dan teman saya sehingga hubungan kami rusak. Setelah sadar dan tobat, akhirnya memutuskan untuk mengurangi bahasa Indonesia lisan dan mengadvokasi bahasa isyarat sejak 2014 setelah keliling SLB di Jawa dan Maluku," terang Surya.

Surya juga bersyukur dapat memiliki teman dan komunitas yang membuatnya menjauhi sikap linguicism. Pada akhirnya, ia dan komunitasnya sepakat jika bahasa isyarat secara linguistik setara dengan bahasa Indonesia.

"Beruntung sekali punya teman seperti @vadera17 sehingga menyadarkan saya untuk menjauhi sikap linguicism. Melalui perkenalan dengan @drewsihombing, kami malah sempat berdebat soal bahasa isyarat karena bahasa isyarat tidak mengikuti tata bahasa Indonesia," jelas Surya.

"Setelah berdebat, saya belajar banyak ttg perspektif dan akhirnya memahami bahwa bahasa isyarat itu secara linguistik setara dengan bahasa Indonesia lisan. #stopaudism #stoplinguicism," pungkasnya.

Video yang mungkin Anda lewatkan:

Load More