Scroll untuk membaca artikel
Farah Nabilla | Elvariza Opita
Senin, 16 Oktober 2023 | 19:08 WIB
Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi terpilih periode 2023-2028 Anwar Usman (kiri) dan Saldi Isra (kanan) berpose usai pemilihan di gedung MK, Jakarta, Rabu (15/3/2023). [ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay].

BeritaHits.id - Mahkamah Konstitusi memang menolak mengubah batas usia minimal capres dan cawapres, tetapi lembaga tersebut kemudian menambahkan persyaratan yang diduga memberi celah untuk Gibran Rakabuming Raka maju di Pilpres 2024.


“Mengadili, satu, mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian. Menyatakan Pasal 169 huruf q UU 7/2017 tentang Pemilu nomor 182 tambahan lembaran negara nomor 6109 yang menyatakan berusia paling rendah 40 tahun bertentangan UUD RI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang jabatan yang dipilih melalui Pemilu termasuk pemilihan kepala daerah,” ujar Ketua MK Anwar Usman, dikutip pada Senin (16/10/2023).


Tentu saja publik langsung ramai mengaitkan dengan status Gibran sebagai Wali Kota Solo yang otomatis memenuhi persyaratan tersebut. Kecurigaan publik semakin menguat usai mengaitkan putusan dengan status Anwar sebagai paman Gibran serta pengakuan Hakim MK Saldi Isra terkait proses pengambilan keputusan.

Politikus PDIP Gibran Rakabuming Raka saat menghadiri Rakernas IV PDIP di JIExpo Kemayoran, Jakarta pada Sabtu (30/9/2023). [Suara.com/Bagaskara]


Hal ini diungkap Saldi di sidang MK yang ditayangkan kanal YouTube KOMPASTV, di mana Saldi termasuk hakim dengan pendapat berbeda alias dissenting opinion terkait perkara 90-91/PUU-XXI/2023.

Baca Juga: Tak Gentar Dukung Duet Prabowo-Gibran, Projo Buang Mentah-mentah Soal Dinasti Politik


“Saya bingung dan benar-benar bingung harus dari mana memulai pendapat berbeda ini, sebab sejak menapakkan kaki sebagai Hakim Konstitusi di gedung mahkamah ini pada tanggal 11 April 2017 atau sekitar 6,5 tahun yang lalu, baru kali ini saya mengalami peristiwa aneh yang luar biasa dan dapat dikatakan jauh dari batas penalaran yang wajar. Mahkamah berubah pendirian dan sikapnya hanya dalam sekelebat,” ujar Saldi.


Yang dimaksud adalah putusan hakim MK dalam perkara 29-51-55/PUU-XXI/2023 terkait perubahan batas usia capres-cawapres yang secara tegas dinyatakan masuk kategori open legal policy alias ranah kewenangan pembuat undang-undang.


“Apakah Mahkamah pernah berubah pendirian? Pernah, tetapi tidak pernah terjadi secepat ini di mana perubahan terjadi dalam hitungan hari. Perubahan demikian tidak hanya sekadar mengenyampingkan putusan sebelumnya,” kata Saldi.

Gedung Mahkamah Konstitusi di Jakarta, Senin (16/10/2023). [Suara.com/Alfian Winanto]


Yang menjadi sorotan, Saldi juga mengungkap detail pelaksanaan Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) untuk menentukan keputusan MK. Menurutnya, perkara 29-51-55/PUU-XXI/2023 tentang batas minimal usia capres-cawapres diputuskan lewat sidang pleno dan RPH yang dihadiri oleh 8 hakim MK kecuali Anwar Usman.


“RPH untuk memutus perkara 29-51-55 pada tanggal 19 September 2023, RPH dihadiri oleh 8 Hakim Konstitusi. Tercatat RPH tanggal 19 September 2023 tersebut tidak dihadiri oleh Hakim Konstitusi dan sekaligus Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman. Hasilnya, 6 Hakim Konstitusi sepakat menolak dan memosisikan Pasal 169 huruf q UU No 7 Tahun 2017 sebagai kebijakan hukum terbuka atau open legal policy pembentuk undang-undang,” terang Saldi.

Baca Juga: Perubahan Sikap MK Soal Putusan Batas Usia Capres-Cawapres Terjadi saat Paman Gibran Ikut RPH


Lalu hakim MK menggelar RPH berikutnya, termasuk perkara kepala daerah di bawah 40 tahun bisa menjadi capres-cawapres. Kali ini Anwar ternyata mengikuti rapat tersebut.

Hakim ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman membacakan hasil putusan sidang penetapan batas usia Calon Presiden (Capres) dan Calon Wakil Presiden (Cawapres) di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (16/10/2023). [Suara.com/Alfian Winanto]


“RPH pembahasan dan pengambilan putusan perkara 90-91, RPH dihadiri oleh 9 Hakim Konstitusi. Beberapa hakim yang dalam perkara 29-51-55 telah memosisikan Pasal 169 huruf q UU 7/2017 sebagai kebijakan hukum terbuka pembentuk undang-undang, tiba-tiba menunjukkan ketertarikan dengan model alternatif yang dimohonkan di perkara 90. Padahal meski model alternatif yang dimohonkan dalam perkara 90 secara substansial telah dinyatakan sebagai kebijakan hukum terbuka,” jelasnya.


Saldi juga menyoroti adanya kejanggalan terkait perkara tersebut, sebab sempat ditarik oleh pemohonnya, tetapi kemudian dibatalkan sehari setelahnya. Namun bagi Saldi, kebijakan rekan-rekan hakim MK yang berubah haluan hanya dalam hitungan hari diakui lebih menjadi sorotannya.

Load More