BeritaHits.id - Pakar Ekonomi Faisal Basri memintah pemerintah RI tak asal dalam menerapkan istilah gas dan rem pengendalian Covid-19. Ia meminta agar nyawa manusia tak dijadikan bahan coba-coba.
Melalui akun Twitter miliknya @faisalbasri, Faisal meminta agar pemerintah tak memakai istilah gas dan rem dalam upaya pengendalian Covid-19.
"Mohon dengan sangat jangan lagi pakai istilah gas dan rem. Nyawa manusia jangan dijadikan trial and error alias coba-coba," kata Faisal seperti dikutip Suara.com, Jumat (8/1/2021).
Faisal menjelaskan, penggunaan istilah gas dan rem dalam pengendalian Covid-19 merupakan cerminan pemerintah miskin perencanaan.
Baca Juga:Positif Covid-19, Irfan Hakim Khawatir Dikucilkan dan Dijauhi
Sebab, jika pemerintah menggunakan basis ilmu pengetahuan dan data yang akurat, maka segala langkah pengendalian bisa terukur.
"Jika berbasis ilmu pengetahuan dan data yang akurat atau kredibel, segala langkah niscaya terukur. Gas dan rem itu cerminan ugal-ugalan dan miskin perencanaan," ungkap Faisal.
Lebih jauh lagi, Faisal menyebut penyebaran Covid-19 bisa diprediksi dengan tingkat akurasi yang tinggi jika pemerintah memiliki data.
Oleh karenanya, pemerinah tak perlu mengeluarkan kebijakan tarik gas atau rem pengendalian Covid-19, apalagi secara mendadak.
Sebab, kebijakan memperketat pengendalian Covid-19 secara mendadak akan mengakibatkan ongkos ekonomi meningkat.
Baca Juga:Wali Kota Bandung Positif Covid-19, yang Pernah Bertemu Diminta Isolasi
"Penyebaran Covid-19 bisa diprediksi dengan keakurasian tinggi kalau datanya kredibel. Jadi tak perlu gas dan rem, apalagi dilakukan mendadak. Akibatnya, ongkos ekonominya pun sedikit tinggi," tukasnya.
PSBB Pulau Jawa - Bali
Pemerintah RI berencana menerapkan PSBB Pulau Jawa - Bali mulai 11 Januari 2021 mendatang. Kebijakan tersebut dikeluarkan menyusul lonjakan kasus Covid-19 pasca liburan natal dan tahun baru.
Keputusan yang diambil melalui Rapat Terbatas di Istana Negara pada Rabu (6/1/2021) itu akan mengatur seluruh kebijakan terkait penanganan Covid-19 secara mikro di Pulau Jawa dan Bali, yang didasarkan pada kriteria angka kematian, kasus aktif, ketersediaan rumah sakit, kesembuhan dan tingkat disiplin masyarakat dalam menerapkan protokol kesehatan.
54 Kta/Kabupaten Rawan Covid-19
Di balik kebijakan PSBB Jawa-Bali karena ada 54 kota/Kabuopaten di seluruh Indonesia rawan terpapar COVID-19. Hal itu dinyatakan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian sekaligus Ketua KPC-PEN Airlangga Hartarto.
Selain iyu dia mengaku tak habis fikir melihat data terus meningkatnya kasus positif virus corona akhir-akhir ini.
Dari data yang dimilikinya, penambahan kasus baru melonjak cukup tajam dari bulan Desember hingga awal Januari tahun ini.
"Kita ketahui beberapa kondisi penambahan kasus per minggu di bulan Desember itu 48.434 dan awal Januari 51.986 (kasus)," kata Airlangga dalam konferensi pers virtual di Istana Negara, Rabu (6/1/2021).
Selain itu kata dia zona risiko tinggi Covid-19 juga meningkat, saat ini jumlahnya mencapai 54 kabupaten/kota, 380 kabupaten/kota berisiko sedang dan 57 kabupaten/kota berisiko rendah.
Sementara itu untuk tingkat vatality rate mencapai 3 persen dengan tingkat kesembuhan 82 persen dan kasus aktif Covid-19 sebesar 14 persen. Sedangkan keterisian ruang ICU telah mencapai di atas 70 persen.
Makanya untuk mengurangi tingkat penularan virus corona, Pemerintah kembali menetapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar atau PSBB yang lebih ketat bagi seluruh daerah di tanah air terutama di Jawa dan Bali mulai tanggal 11 Januari hingga 25 Januari 2021.
"Oleh karena itu, pemerintah membuat kriteria, terkait pembatasan kegiatan masyarakat dan ini sesuai dengan UU yang telah dilengkapi dengan PP 21 2020 mekansime pembatasan tersebut. Pembatasan ditegaskan bukan pelarangan kegiatan tapi pembatasan," katanya.