Soal FPI Lebih Merakyat dari NU dan Muhammadiyah, Ini Ceritanya

Menurut intelektual muda NU, konteks pernyataan itu lebih relevan dengan konteks dinamika sosial politik di Jakarta.

Reza Gunadha | Aprilo Ade Wismoyo
Kamis, 21 Januari 2021 | 18:43 WIB
Soal FPI Lebih Merakyat dari NU dan Muhammadiyah, Ini Ceritanya
Ilustrasi FPI

BeritaHits.id - Belakangan ini heboh pernyataan yang menyebut bahwa FPI lebih merakyat daripada NU atau Muhammadiyah. Panji Pragiwaksono terseret dalam kontroversi tersebut meskipun sudah dijelaskan bahwa pernyataan itu muncul dari seorang sosiolog bernama Thamrin Amal Tomagola.

Pernyataan yang dikeluarkan 9 tahun lalu itu pun menjadi sebuah topik pembicaraan yang hangat dibicarakan publik. Salah satu yang mengulas tentang pernyataan tersebut adalah intelektual muda NU, Savic Ali.

Pada awal isu ini mencuat, Savic Ali mencoba bertabayun ke Pandji melalui kicauan di Twitter. Savic menuliskan, ada yang mengganggu pikirannya dengan pernyataan yang berasal dari si sosiolog tersebut.

“Statement “dua ormas besar Islam (NU dan Muhamamdiya) jauh dari rakyat. Mereka elit-elit politik.” apakah juga kutipan dr Pak @tamrintomagola? Buat saya statemen soal FPI dekat dg (sebagian) rakyat oke aja, tapi imbuhan (karna) NU-MU jauh dr rakyat dan elit problematis,” tulis Savic membalas cuitan Pandji.

Baca Juga:Sebut Daftar Nama yang Dituding Danai FPI, Ade Armando: Mereka Lagi Panik

Bagi Savic, pernyataan tersebut jauh lebih relevan jika diterapkan pada konteks dinamika sosial politik di Jakarta.

Dia menuliskan, dari sejarahnya muslim Jakarta memang kental politiknya. Oleh sebab itu, wajar jika FPI dinilai lebih merakyat atau disukai rakyat dibanding tokoh NU dan Muhammadiyah di Jakarta. Ditambah lagi, tokoh FPI Habib Rizieq Syihab sudah sering membahas soal politik.

“Muslim Jkt itu mmg kental politiknya. Dari dulu. Jadi kalo byk yg suka MRS ya karena dia selalu bahas politik. Justru kiai yg “kultural” kurang disukai muslim Jkt. Jadi kalo byk yg ke FPI bukan kok karena kiai NU-Muhammadiyah elitis ato jauh dr rakyat,” ujar Savic Ali mengulasnya dilansir dari hops.id jaringan suara.com.

Savic juga menjelaskan bahwa semua itu ada sejarahnya. Berdasarkan hasil pemilu 1955 di Jakarta yang memenangkan Masyumi, dinamika politik muslim di Jakarta pun bergejolak. Tokoh NU Jakarta bertahan dalam politik, sebab saat itu tokoh NU banyak yang tak punya madrasah atau pesantren. Akhirnya tokoh NU bertahan dalam panggung politik sebagai ruang satu-satunya kala itu

“Semua proses dan dinamika tersebut membuat muslim Jakarta lebih politis, karena tokoh-tokohnya memang mengutamakan medan politik, sehingga umatnya ya terbentuk politis. Kehadiran MRS yg politis memenuhi hasrat akan tokoh muslim politik itu. Bukan kok karna NU-Muhammadiyah menjauh atau elitis,” jelas Savic.

Baca Juga:Ucapannya Dikutp Pandji Pragiwaksono, Tamrin Tomagola Angkat Bicara

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini

Tampilkan lebih banyak